Senin, 13 Februari 2012

ASTAGA, GUE JATUH CINTA?! -Cerpen-

By. Dinda
*cerita ini hanya fiktif belaka*


***

Sore baru saja menyapa saat kakinya berderap menuruni tangga rumahnya. Tetangga sebelah. Ke situlah kaki-kakinya melangkah. Tidak sulit menemui sahabat sekaligus tetangganya itu. Jam setengah 4, jadwal rutin untuk membersihkan kereta mesinnya.

“DOR!” Teriak Rahma, tepat didepan telinga seorang pria yang sedang asik mengelap BMW 318i-nya.
“Astajiim... Rahma! Sialan, loe!” Makinya dengan kesal, ia melempar lapnya kedalam ember berisi air dan langsung menjambak rambut Rahma dengan kesal.
“Aduh! Ampun, Kak! Ampun... sori, sori!” Kata Rahma, sambil merapikan rambutnya. Pria itu berdiri dihadapannya dengan berkacak pinggang.
“Ikh, makanya jangan main-main sama gue!” Pria itu menoyor kepala Rahma pelan.
“Sori, Kak. Maaf... Eh, ada yang bisa gue bantu nggak?”
“Ada, ada banget.” Pria itu, yang tidak lain adalah Morgan menjawab dengan semangat.
“Apa tuh? Sini, gue bantu. Itung-itung, tanda maaf gue.”
“Noh, mandiin uler gue. Udah seminggu belum gue mandiin.”
“Idih? Ogah  ah! Kalo yang itu, sih, gue kagak mau!”

“Lah? Kan tadi loe sendiri yang nawarin bantuan, napa sekarang malah nolak?”
“Yaelah... Eh, Bang, kalo bantuin yang wajar-wajar aja, sih, gue juga mau! Ambilin ini, kek. Apa, kek. Lah ini? Mandiin uler? Kagak inget waktu uler loe itu nyelinap tanpa ijin ke kamar gue?!” Rahma bergidik ngeri, pikirannya menerawang kejadian 1 bulan yang lalu. Saat ular sanca bercorak kuning itu ditemukan melingkar dilantai kamarnya.
Morgan hanya tertawa melihat ekspresi Rahma, “Aduh, non, yang namanya nyelinap, mana ada yang peke ijin!” Ia kembali pada pekerjaan semula, mencuci mobil.
Rahma yang merasa diacuhkan, duduk didekat ember yang berisi air sabun itu.
“Eh, Kak, Abang loe mana?” Tanya Rahma. Matanya menengok kearah pintu rumah Morgan yang sedikit terbuka.
“Ada, bentar lagi juga keluar.” Jawab Morgan tanpa mengalihkan pandangannya.

Tidak lama kemudian, Rafael, orang yang dimaksud Rahma keluar dari rumah itu dengan mengenakan jaket berwarna hitam kesayangannya. Tangannya asik memutar-mutar kunci mobil. Ia tersenyum saat melihat Rahma.
“Eh, ada Rahma. Udah lama disini?” Tanya Rafael. Rahma sumringah, ia bangkit.
“Nggak, kok, Kak. Belum lama, Kakak mau kemana?”
“Mau jalan sama temen. Kakak pergi dulu, yah!” Rafael masuk kedalam mobilnya, “Dah, Rahma!”
“Hati-hati, yah, Kak!” Rahma melambaikan tangannya dihadapan jendela mobil Rafael.
“Eh, Gan! Jangan lupa mandiin Sergio, yah!” Teriak Rafael.
“Siap, Kak!” Sahut Morgan. Lalu mobil Rafael perlahan menghilang ditelan tikungan jalan.

“Loe naksir sama Abang gue, yah?” Tanya Morgan, membuat Rahma sedikit terkejut.
Rahma menoleh, dan menatap Morgan dingin.
“Kenapa loe ngeliatin gue kayak gitu? Naksir, bilang!” Kata Morgan.
“Ha? Mamaaaaaa!!!!” Rahma berlari memasuki rumahnya seperti orang kesetanan.

***

“Kak Morgaaan!!! Abaaang!!!” Rahma berteriak didepan rumah Morgan seperti orang mengajak rusuh. Ia menggesek-gesekkan kakinya dan sesekali menendang kerikil dihadapannya. Morgan keluar dari rumah bercat biru itu dalam keadaan berantakan. Ia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana selutut bercorak loreng. Ia menyipitkan matanya dan sesekali menguap.
“Apaan, sih, loe? Cari ribut loe didepan rumah gue?” Morgan bertanya jengkel, tidur siang indahnya terganggu oleh suara nyaring gadis itu.
“Lagi tidur, yah, Kak? Hehehe...” Ia nyengir.
“Bukan! Lagi main akrobat! Puas, loe? Ada apa, sih?” Morgan tidak beranjak sedikitpun dari teras rumahnya, membiarkan Rahma berdiri dibalik pagar.
“Ya Alloh... Bukain dulu napa pagernya, Kak!” Rahma menggoncang-goncangkan pagar besi itu.
“Woy! Jangan digituin, entar loe kagak dibolehin main kesini lagi ama nyokap gue!” Morgan melangkah membukakan pintu pagar buat Rahma.

“Si Cocoh ada?” Ia tersenyum.
“Astaga... Rahma! Kalo loe kesini nyariin si Cocoh, napa mesti manggilin gue, sih?!”
“Hush... jangan teriak-teriak!” Ia membekap mulut Morgan, “Ntar si Cocoh denger, bisa malu gue!” Ia celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya, takut kalau-kalau Rafael mendengar pembicaraan mereka.
“Rafael kagak ada!” Morgan berbalik.
“Eh, kemana?”
“Kagak tau. Bilangnya mau pergi sama Kakak loe.”
“Sama Kakak gue? Kak Renata?”
“Yaelah... emangnya loe punya Kakak lagi selain Renata?!”
“Eh... terus loe mau kemana?”
“Mau tidur lagi, lah! Ngapain juga berdiri disini kayak orang kagak ada kerjaan.”
“Jangan! Temenin gue aja, yuk?!” Ajak Rahma.
“Ha? Kemana?”
“Walking walking...” Rahma nyengir, ia mengedip-ngedipkan matanya, merayu.
“Nggak ah. Nggak ada duit, gue.”
“Gue yang traktir, mau yah? Tapi pake mobil Kakak.”
“Bensin?”
“Tenang... gue yang beli.”
“Makan? Terus es krim?”
“Tenang... kalo cuma itu aja, gue masih mampu, kok.”
“Oke! Gue ganti baju dulu.”

***

Morgan mengendarai mobilnya dalam kecepatan sedang. Sedangkan Rahma, ia duduk manis disampingnya bak putri yang hanya tinggal duduk santai, maka akan sampai pada tujuannya. Mereka berhenti disebuah mall yang cukup besar.

“Kita kemana?” Tanya Morgan.
“Ehm... ketoko buku aja, yuk?!”
“Ha? Mau ngapain?”
“Ngapain, kek. Syukur-syukur kalo gue nemuin buku yang cocok buat si Cocoh.”
“Duileh... mentang-mentang, yah.”
“Hayo, ah. Jangan berdiri ditengah-tengah kaya gini.” Rahma menoleh sekelilingnya. Mereka memang berada tepat ditengah-tengah lobi mall itu.
“Ya udah, yuk!”

Mereka melangkah menuju lantai 2, toko buku langganan mereka. Namun, langkah Rahma berhenti, saat dilihatnya Rafael bersama Renata, sang Kakak, berdiri menghadapi etalase yang memajang beberapa perhiasan. Tapi itu... ah, Rahma baru sadar jika etalase itu memajang perhiasan yang terbuat dari emas putih.

“Kok, Kak Renata sama Kak Rafael...” Rahma meringis.
“Mereka pacaran?!” Morgan mengucek-ucek matanya, mencoba meyakinkan dirinya jika itu memang Rafael dan Renata.
“Kok, bisa...” Tanpa terasa, mata Rahma berkaca-kaca. Terlebih, saat dilihatnya Rafael memakaikan sebuah kalung dengan liontin beruang keleher Renata.
“Itu, kan, kalung beruang yang kemarin Kak Renata minta sama Mama... Kenapa jadi Kak Rafael yang beliin?”
“Loe nangis, Ma?” Morgan memandangnya bingung. Rahma menggeleng, meski air matanya telah mengalir.
“Kita pulang aja, Kak.” Rahma berbalik dan meninggalkan Morgan begitu saja.

Ia baru berhenti setelah sampai dipelataran parkir yang terletak dilantai 3. Lututnya lemas. Ia terduduk lemah sembari melipat kedua kakinya.
“Heu... heu... Kok, Kak Rafael tega sama gue? Emangnya dia nggak nyadar, yah, kalo sejak kecil, gue suka sama dia...” Ia menangis.
“Tuh, kan! Loe beneran suka sama Rafael.” Morgan tiba-tiba saja sudah berdiri dibelakangnya.
“Nggak. Gue nggak suka sama dia!”
“Halah... tadi gue denger sendiri, kok.”
“Nggak usah bawel dan nggak usah sok tau, deh! Ayo pulang!”
“Kita belum makan es krim, Ma.”
“Bodo.” Jawabnya, sambil memasuki mobil tanpa memperdulikan Morgan yang masih bingung.

***

Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. Rahma tidak mengindahkannya, ia menutup kepalanya dengan bantal.
“Rahma...” Panggil Renata dengan pelan. Ia tidak menjawab.
“Rahma... kamu didalem, kan? Dipanggil Mama, tuh. Suruh makan.”
Rahma membuka pintu dengan kasar. Matanya yang tampak bengkak menatap Renata dengan tajam.
“Apa?!” Tanyanya, dengan ketus.
“Itu, dipanggil Mama, suruh makan.”
“Bilang sama Mama, gue nggak laper!”
Brak! Ia membanting pintu dengan keras.

Renata tidak menyerah, “Rahma... kamu kenapa, dek? Kamu sakit?”
“Gue nggak sakit!!” Teriak Rahma.
“Ya udah, terus kenapa?”
“Bukan urusan loe! Sana pergi!!!”
“Kok gitu, dek? Keluar dulu, yuk?! Kita ngobrol dulu...” Bujuk Renata.
“Nggak!!! Loe pasti lagi seneng karena baru jadian sama cowok! Mending loe pergi, deh!!”
“Rahma...”
“Gue bilang pergi! Jangan ngurusin gue! Urus aja urusan loe!!!”

***

Sementara itu, Rafael baru saja menutup laptopnya saat ponsel merahnya berdering.
Renata calling... segera ditekannya tombol hijau.
“Halo? Ada apa, Re?”
“Aku perlu ngomong sama kamu soal tadi sore itu.”
“Iya, kenapa emangnya?”
“Jadi gini...(bla bla bla bla bla)”

“Jadi gitu masalahnya, Raf.” Renata mengakhiri penjelasannya.
“Lho? Kok, jadi gini, sih?” Rafael menggaruk kepalanya.
“Iya, Raf. Aku juga bingung.”
“Ya udah, besok kita ketemu dikampus aja, yah.”
“Oke, thanks, Raf.”

***

“Kak Renata mana, Mah?” Tanya Rahma, pagi itu dimeja makan.
“Renata udah berangkat kekampus tadi pagi.” Jawab Mama.
“Kok, pagi bener?”
“Iya, ada urusan penting dikampus katanya. Oh iya, sore ini kamu ada jadwal les, kan?”
“Ada, Mah. Kenapa?”
“Nggak papa, Renata bilang, dia mau jemput kamu sore nanti.”
“Tumben?” Ucapnya, acuh.
“Nggak papa, lah... mungkin dia pengen nyenengin kamu kali.”
Rahma mengangkat bahu, “Maybe.”

“Kamu berangkat sekolahnya sama Morgan aja, yah? Rafael tadi udah berangkat bareng Renata soalnya.”
“Bodo.”
“Kok, gitu? Kamu lagi marahan sama dia?”
Hadeuh... ni nyokap kenapa, sih? Dari tadi bawel banget.
“Nggak. Biasa aja.”
“Yakin kamu?”
“Yakin. Lagian, udah beberapa hari ini Rafael sibuk terus.”
“Ya udah, makannya cepet abisin. Kamu nebeng aja sama Morgan. Toh, sekolah kamu sama kampusnya searah.”
“Iya.”

***

Langit sore itu kian mendung saat Rahma melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Ia berdiri sebentar dikoridor yang lengang. Kawan-kawannya sebagian besar telah pulang. Diam-diam Rahma gelisah menanti jam 5 sore. Ia mondar mandir dikoridor itu. Apa iya, Kak Renata bakal jemput? Ia semakin gelisah, saat diliriknya jam tangan secara jujur menunjukkan pukul 16.53.
Persetan dengan Kak Renata! Ngapain juga gue capek-capek nungguin dia disini? Mending juga gue hang out, kemana, kek! Gerutunya, dalam hati. Lalu ia pergi begitu saja dengan langkah kakinya yang berderap cukup keras dilantai.

Ia menuruni tangga dengan berhati-hati. Namun, ia terkejut saat melihat adegan ditengah tangga itu. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dihadapannya kini berdiri Kak Renata yang menyandarkan tubuhnya didinding bersama Rafael dihadapannya. Jarak mereka cukup dekat. Oh no!!! Rafael memakaikan kalung yang tempo hari dilihatnya di mall bersama Morgan. Apa-apaan nih? Mau pamer sama gue?!

“Jangan jadiin tempat les gue sebagai tempat mesum.” Tegur Rahma. Keduanya tampak terkejut dan segera berjauh-jauhan.
“Kalo mau pacaran, cari tempat lain!” Kata Rahma, ia berlalu melewati mereka begitu saja. Rafael mencegah lengannya.
“Ini nggak seperti yang kamu pikirin.” Kata Rafael.
Rahma tersenyum sinis, “Emangnya, menurut Kakak apa yang lagi aku pikirin?”
“Ehm...” Rafael terlihat bingung.
“Mendingan, kalian pulang sekarang sebelum ada satpam yang pergokkin kalian.” Ucapnya, ia menepis tangan Rafael kasar.

“Tuh, kan... dia pasti salah sangka sama kita.” Kata Renata.
“Terus gimana, dong, Re?”
“Gue, kan udah bilang, jangan pakein kalungnya disini. Ntar Rahma liat, jadi kacau.”
“Haduh...”
“Kejar, sana! Buruan!” Perintah Renata. Rafael menurut, ia segera mengajar Rahma.

***

Dihalaman tempat les.
“Dasar Rafael jelek! Renata nyebelin! Bisa-bisanya mereka pacaran dihadapan gue! Nggak sensitif banget, sih jadi orang! Arrght!” Ia menggerutu sepanjang jalan.
Ia menoleh, dari pintu kaca, tampak Rafael terburu-buru menuruni tangga mengejar dirinya. Rahma semakin mempercepat langkahnya, namun ia kurang berhati-hati, ciiiiiiiit. Gubrak.

Suara ban mobil berdecit keras diaspal jalan. Rahma merasakan suatu benda berat menyenggol tubuhnya dari arah samping. Ia terjatuh, lututnya terluka.
“Aduh...” Rahma meringis sembari meniup-niup lukanya yang berdarah.
“Rahma, kamu nggak papa, kan?” Rafael tampak sangat panik. Ia mengusap-usap wajah Rahma dengan kedua tangannya.
“Sakit...” Ia berkata dengan nada suara yang manja.
“Kita ke klinik, yuk?”
Gadis itu menggeleng, ia baru sadar jika tadi ia sedang marah pada Rafael, “Ngapain Kakak bantu aku? Sana, urus aja pacar Kakak itu!” Rahma mendorong tubuhnya hingga Rafael terduduk.

“Lho? Kok, kamu gitu, sih sama Kakak?”
“Bodo. Emang Kakak perduli sama aku?!”
“Kamu... cemburu, yah?” Rafael menjawil hidung Rahma.
“Nggak! Enak aja!”
“Halah... ngaku aja!”
“Ish, kepedean amat, sih, jadi orang? Emaknya ngidam apa, sih?!”
“Ngidam... kamu.” Rafael tersenyum jahil.
“Terus aja jahilin aku kayak gitu. Teruusss... sampe puas!”
“Hahaha... dasar anak kecil!”
“Aku emang anak kecil. Terus kenapa?”

Rafael memandang Rahma agak lama, mencari tahu apa yang dipikirkan gadis itu.
“Kamu mau ini, nggak?” Rafael menyodorkan seuntai kalung berliontinkan lumba-lumba kesukaan Rahma.
“Dolphin?”
Rafael mengangguk, ia menggenggamkan kalung itu ke tangan Rahma.
“Bagus. Setelah Kak Renata, terus aku.  Abis ini siapa lagi? Kakak lagi sedekah bagi-bagi kalung? Kaya bener.” Ledeknya.
“Ini buat kamu, dudut!” Ia menoyor kepala Rahma.
“Apa maksudnya? Jangan bilang kalo Kakak mau pacarin aku sama Kak Renata sekaligus.”
“Ih, serakah amat, bu! Denger, yah, kamu itu salah paham, tau, neng!”
“Salah paham gimana?”

“Kalung beruang yang tadi aku pakein ke Renata itu nggak ada arti apa-apa.”
“Maksudnya? Apaan, sih, Kak?”
“Aku sama Renata itu cuma temen. Kalung itu, aku kasih karena Kakak kamu itu udah bantuin aku cari kado buat ultah kamu.”
“Ha? Jadi kalung beruang itu... cuma sekedar hadiah?”
“He-em.”
Astaga... tengsin gila, gue! Rahma menyembunyikan wajahnya dari Rafael.
“Kamu cemburu, yah?”
“Nggak!” Rahma menjawab cepat.
“Ah... kamu cemburu, tuh...”
“Nggak!”
“Jangan jadiin tempat les gue sebagai tempat mesum!” Rafael menirukan gaya Rahma tadi saat mengucapkannya.

“Ah... Kakak, malu, tau.”
“Kalo mau pacaran, cari tempat lain! Cieee...”
“Kak Rafael!”
“Kamu suka, kan, sama aku?”
“Nggak!”
“Suka tuh...”
“Nggak!”
“Berarti rela dong, aku jadian sama Renata?”
“Nggak! Eh?”
“Nah, nggak rela, kan?!”
“Kak Rafael!” Rahma mencium kening Rafael hingga membuat pria itu kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.
“Hey, ada juga aku yang cium kening kamu!” Seru Rafael.
“Ini, kan 2011.” Rahma tersenyum.

Tiiiiiin. Tiiiiii. Suara klakson mengejutkan mereka berdua.
“Woy, kalo mau pacaran jangan ditengah jalan raya, dong! Nggak liat, dibelakang udah macet?!” Seorang pengendara mobil melongokkan kepalanya melalui jendela.
Rafael dan Rahma saling berpandangan. Mereka tersenyum tersipu malu.
“Lariiiii!!!” Mereka berteriak bersamaan.
“Dasar!” Dari kejauhan, Renata memperhatikan mereka sambil tertawa.

***

Selesai.

Yang udah baca, tolong tinggalkan jejak.
Makasih :)

Neng, I Heart You -Cerpen-

By. Dinda
Follow @AprianiDinda95
Listen @sergio_odoth
*cerita ini hanya fiktif belaka*


***

“Halo Chika…” Sapa Dicky. Cewek yang disapanya cuma melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan buku yang dibaca.
“Deuh… Chika sombong bener…”
Byur. Dan segelas es teh sukses membanjiri wajahnya.
“Eh, Dick, bisa nggak sih, sehari aja loe jangan gangguin gue?!”

Nah, tadi itu sepenggal kisah tragis dari kawan kita, Dicky. Sebenernya, do’i nggak jelek-jelek banget, kok. Malah, dia termasuk dalam jajaran cowok keren disekolah. Dicky jelas aja bingung, kenapa yah, mukanya yang ganteng itu nggak bisa menarik perhatian cewek manapun? Dia sering banget nanya sama Mamanya. Gini nih, cara nanyanya.
“Mah, kenapa sih, Ichy sering banget ditolak cewek?”
Sang Mama cuma tersenyum, beliau menjawab kalem, “Mereka masih buta aja, belum bisa liat anak Mama yang ganteng ini.” Waduh… Dicky serasa mau terbang denger jawaban Mamanya, idungnya aja ampe kembang kempis begitu.
“Mah, Mama dulu ngidam apa sih, waktu hamil Ichy?” Dicky tersenyum malu-malu kayak orang yang lagi nahan kentut.
Mamanya yang lagi asik adem ayem menyulam ala ibu-ibu komplek yang kurang kerjaan karena kerjaannya udah dikerjain sama pembantu itu menoleh.
“Dulu, Mama ngidam kelinci pake pita.”
Gubrak! Sontak, tanpa direncanain sebelumnya, Dicky langsung terjungkal dari posisi duduknya.
Buset! Gue disamain sama kelinci!

***

“Gue kudu beli pelet nih,” Ucap Dicky, sambil menyeruput es tehnya.
“Pelet? Pelet apa? Ikan mas?” Tanya Reza.
“Sialan loe! Ya kagak lah, tapi…” Dicky menghentikan kalimatnya. Sederet cewek cantik melintas dihadapannya sambil melambai ala Miss Universe yang gagal babak penyisihan (?)
“Hay, Dicky…” Mereka menyapa Dicky kompak.
“Hay…” Dicky membalas dengan tampang cengonya.
Sembilan cewek itu berjajar rapi menanti pesanan baksonya dibuatin sama si empunya kantin.
Mereka Charibelek, girlband sekolah yang namanya udah kondang sampe ke sekolah tetangga dengan single perdana mereka yang judulnya “Dilempar”. Denger-denger, mereka kasih nama itu karena terobsesi sama salah satu girlband yang lagi naik daon kayak ulet cacingan (?). Dicky sendiri sih, belum pernah denger lagu Dilempar itu kayak apa.

“Dicky…” Suara cewek menyebut namanya dari belakang. Dicky tertegun, ia menoleh dengan gerakan slow motion kayak di tivi-tivi, dan ia langsung berteriak histeris, “SETAAAAAAAANN!!!!”
“Dicky, ini Neneng, bukan setan!” Cewek yang memanggilnya itu cemberut. Yaelah, sapa juga yang suruh panggil-panggil Dicky.
“Neneng? Ya Alloh… muka loe serem banget tadi.” Reza dan Bisma yang duduk disampingnya tertawa terbahak-bahak. Disela-sela giginya tampak cabe yang nyelip.
“Besok lusa, kita kemah. Dicky nggak lupa, kan?” Neneng tersipu, padahal sumpah! Dicky nggak tertarik sama sekali.
“Iya, gue inget kok, kenapa?”
“Dicky juga inget kan, sama tugas biologi Pak Syamsul? Dia bilang, kita disuruh mencatat tumbuh-tumbuhan obat ditempat kemah nanti.”
“Iya, gue inget, Neneng. Terus apa lagi?”
“Dicky juga inget kan, kalo kita… sekelompok.” Neneng nyengir memamerkan giginya yang dipenjara alias dibehel, entah kapan bebasnya.
“Hem, kalo yang itu gue rada-rada inget, tapi juga rada-rada lupa. Ada lagi. Neneng?”
Neneng menggeleng, “Nggak ada.”
“Ya udah, makasih ya, Neneng. Sekarang, Dicky mau makan lagi, kalo Neneng masih disini, Dicky nggak bisa mulai makan nanti.” Dicky tersenyum (Eh, loe dibehel juga, Dick? – Author)
“Iya, sama-sama. Neneng ke kelas dulu yah. Dadah Dicky, dadah Bisma, dadah Reza.” Neneng meninggalkan mereka dengan senyumnya yang makin lama makin lebar aja. Hedeuh… ampun!

***

Cewek tadi namanya Neneng. Anaknya baik kok, tapi penampilannya yang nggak banget itu bikin bikin anak-anak rada ngejauhin dia. Kulitnya putih, lumayan cantik lah. Kalo direndengin sama Mpok Ati, pasti udah langsung ketebak mana Neneng, mana si Mpok. Tingginya kira-kira 160, lumayan tinggi kan, buat ukuran cewek kayak Neneng? Rambut panjangnya yang always dikepang dua itu bikin Dicky teringat sama kartun jaman dulu, Oshin, atau sama cewek-cewek yang sejaman sama Mamanya. Nyi Iteung, temen-temen sekelas menjulukinya seperti itu.

Satu lagi yang beda dari si Neneng. Kacamata yang nangkring di idungnya itu! Kacamata itu, guedenya naudzubillah. Dari bisik-bisik tetangga yang Dicky denger, dari kelas ujung ketemu ujung, dari lantai atas ketemu bawah, yang asalnya nggak tau dari mana, si Neneng yang udah 2 tahun ngejar-ngejar Dicky sampe doski ngos-ngosan itu, ternyata matanya nggak minus! Dan ternyata… jreng jreng jreng, ceritanya backsound, dia cuma ngikutin gayanya Fitri Tropica! Ck, gaul juga yah si Neneng.

***

Taraaaam!!! Ceritanya, sekolah Dicky ngadain kemah nih ke puncak. Kemah, bisa dimanfaatin sama anak-anak yang emang punya sejuta rencana. Yang lagi deketin cewek, bisa jadiin kemah sebagai ajang PDKT. Buat yang religius, bisa sekalian tadabbur alam. Bahkan, yang mau nagih utang, yang selalu gagal ditagihin disekolah karena meluluan kepergok sama guru, juga bisa disini! Dicky sih, sebenernya males buat ikutan. Karena itu artinya, si Neneng bakalan gencar buat deketin dia. Nah, kayak yang satu ini.
“Chy! Woy! Cepetan!” Teriak Reza.
Perjalanan puncak yang menanjak itu emang sukses bikin Dicky kewalahan. Gimana kagak? Badannya yang kecil mungil itu kudu mengemban ransel yang tingginya hampir setengah badan. Kebayang kagak, tuh?!
“Nggak usah keburu-buru. Nyantai aja…”
Dicky menoleh, ha? Neneng lagi?!
“Mau Neneng bantuin?”
Mata Dicky berbinar. Neneng nawarin bantuan? Rejeki nomplok!
“Boleh, bawain yah, Neng!” Dicky meninggalkan ranselnya begitu saja dihadapan wajah Neneng yang emang pada dasarnya udah cengo.
“Lho?”

“Ini kan, ranselnya Dicky?” Bisma berjalan disamping Neneng yang tersaruk-saruk membawa ransel itu.
“Iya, Neneng lagi bantuin Dicky.” Ucap Neneng dengan ceria, ia bahkan tidak mengeluh sedikitpun.
“Ikh, sini, biar gue aja yang bawa!” Bisma meraihnya dari tangan Neneng.
“Eh, jangan!”
“Ini berat, Neneng.”
“Nggak papa, kok. Biar Neneng aja.”
“Gue temennya Dicky. Jadi, biar gue yang bawa!” Tega banget sih tuh bocah! Perasaan, gue kalo manfaatin cewek nggak segininya juga, deh. Bisma menggerutu dalam hati.

***

Malam semakin larut. Acara api unggun memang membuat sebagian siswa begitu lelah. Terlebih dinginnya udara puncak yang seakan menggoda mata untuk segera merajut bulu mata (?)
“Za, bangun dong…” Dicky mengguncang-guncangkan tubuh Reza.
“Apa sih, Dick?” Reza menggeliat sebentar.
“Gue pengen pipis, temenin, yuk…”
“Gue ngantuk ah…”
“Ish… loe jangan gitu dong, Za. Hayu ah!”
“Bisma aja, noh.” Mata Reza masih terpejam.
“Bisma kan ditenda paling ujung, sama aja boong.”
“Setengah jam lagi.”
“Buset! Keburu ngompol gue!”
“Udah ah, ngantuk, Chy!”

Setelah menimbang-nimbang dengan menggunakan kancing bajunya antara keluar apa nggak, akhirnya Dicky keluar sendiri (keluarnya doang yang sendiri, nggak tau deh kalo nanti gimana – Author). Tengok kanan, tengok kiri, kali-kali aja lalu lintas lagi padat (?). Aman…

Ia berjingkat melewati tenda demi tenda yang berjajar rapi dan menuju pohon yang terletak agak jauh. Tap, bukannya agak jauh, dia malah kejauhan sampe-sampe nggak tau mana timur, barat, selatan, ataupun utara. Perasaan Dicky tiba-tiba merasa tidak nyaman, ia seperti diikuti oleh seseorang, entah siapa. Ia menoleh.
“Aaaaaaaaaaah!!!” Dicky menjerit kencang.
“Hush! Ini Neneng.”
“Neneng?” Dicky menelisik tiap sisi Neneng, kali-kali aja, itu kuntilanak yang nyaru jadi Neneng.
“Ngapain loe disini? Loe ngikutin gue, yah? Hayo, jangan-jangan loe ngintip!”
“Ngintip? Ye, Neneng nyasar!” Ucapnya, setengah berbisik.
Dicky memandang sekitarnya dengan perasaan campur aduk.
“Mampus! Gue juga nyasar!” Dicky menepuk jidat Neneng (?)

Tiba-tiba, petir menyambar bersahut-sahutan disusul dengan turunnya hujan demikian deras.
“Kita kegubuk yang disana! Ayo!” Neneng menarik tangan Dicky menuju sebuah gubuk yang sunyi.
“Buset… gelap bener, Neng.” Kata Dicky. Bilangnya sih, gelap, tapi tetep aja dia duduk di atas dipan kayu yang ada.
“Gelap tau…” Mata Dicky menyapu seluruh sisi ruangan yang remang itu.

“Tau nggak, apa yang biasanya dilakuin sama cewek dan cowok yang lagi berduaan ditempat gelap kayak gini?” Neneng duduk disampingnya.
Dicky mendelik, “Maksud loe? Istighfar, Neng! Kita tuh bukan muhrim!”
“Eh?” Neneng tampak bingung dengan ucapan Dicky.
“Denger ya, Neng, biarpun gue suka bolos, suka ngerjain guru, tapi gini-gini juga, gue tuh muslim yang taat tau!”

“Asal loe tau aja, itu tuh namanya zina! Dan balasannya itu, neraka jahannam, Neng!”
“Apaan sih, Dick?”
“Bahkan, nyentuh loe seujung jaripun, gue nggak mau!”
“Ih… kamu tuh ngawur banget. Maksud aku tuh, nyalain lilin.” Neneng mengacungkan sebuah lilin berukuran besar berwarna merah.
“Buset?! Gue kira apaan.” Dicky menggaruk kepalanya yang yang tidak gatal.
“Lilin ini, aku comot dari kuil waktu tahun lalu keluarga aku liburan ke Hongkong. Bagus, kan?!”

“Yang namanya lilin, tetep aja lilin! Mencair.”
“Meleleh, Dicky. Bukan mencair. Lilin itu meleleh.” Jawab Neneng dengan kalemnya.
“Sama aja, ah.”
‘Dicky punya korek?”
“Nggak. Eh, tapi kita bisa nyalain pake kayu!” Dicky bergegas mengambil 2 batang kayu dan mulai menggesek-gesekkannya.

2 jam kemudian…

“Bisa nggak sih, Dick? Udah  2 jam, tau!” Neneng mengusap-usap lehernya yang dicium nyamuk.
“Sabar napa sih, Neng. Lagi usaha nih.”
“Emang yakin caranya kayak gitu?” Neneng mulai meragu.
“Ehm… kalo nggak salah, kita butuh cahaya matahari buat bisa jadi api.” Jiaaah, gubrak!
“Astaga… ini kan malem, Ky! Sampe botak sariawan juga nggak bakalan nyala!”
“Gue lupa.” Ia meletakkan kayu-kayu itu begitu saja.
“Enteng amat loe bilang lupa.”

“Neneng! Neng, Dicky!” Terdengar suara yang menyerukan nama mereka.
“Sialan! Gue kan cowok, siapa tuh yang manggil gue neng Dicky?!”
“Itu suara Reza sama Bisma!”

Brak! Reza dan Bisma mendobrak pintu gubuk itu dan mendapati kedua orang itu berjongkok menghadapi sebuah lilin dan tumpukan kayu seperti makhluk Pithecanthropus Erectus yang baru saja mendapat mukjizat (Apasih? Ngawur! – Author).
“Bisma!” Neneng menghambur kedalam pelukan Bisma.
“Ih… Neneng! Lepasin! Lepasin, cepetan!” Dicky menarik tubuh Neneng .
“Kenapa sih, Chy? Loe cemburu?!” Tanya Bisma.
“Bukan! Kan tadinya gue duluan yang mau meluk loe! Mamang…” Kali ini gantian Dicky yang meluk Bisma. Mana pake acara tangis-tangisan segala lagi, kayak acara di tipi-tipi itu. Yang kata nyari orang yang udah lama kagak ketemu. Padahal, belum ada 3 jam kok mereka ilang. Tapi, karena emang pada dasarnya Bisma masih normal, dia langsung aja dorong tubuh Dicky.
“Hayo ke tenda sebelum ada guru yang tau. Kalo guru tau, bisa manggil tim SAR, mereka!”

***

Udah 4 hari setelah pulang dari kemah, si Neneng nggak masuk sekolah. Dicky gelisah, berkali-kali dia noleh ke belakang, tempat duduk dimana Neneng parkir (?)
“Neneng nggak sekolah lagi,” Gumamnya.
“Loe ngomong apa?” Tanya Reza.
“Nggak kok, lupain aja.”
“Neneng sakit. Kalo loe kangen sama dia, jujur aja. Semua anak-anak juga ngakuin kok, kalo mereka kangen sama Neneng.”
“Sakit apa?”
“Gue kurang tau. Mungkin parah.”
“Parah? Masa, sih?”
“Loe nggak percaya? Samperin aja kerumahnya.”
“Nggak ah. Ngapain juga. Lagian, siapa Neneng buat gue?”
Dicky menepis semua perasaannya. Neneng kan, bukan siapa-siapa gue!

***

7 hari. Genap seminggu Neneng nggak masuk sekolah. Tak ayal, diam-diam Dicky khawatir juga. Akhirnya, setelah melewati pergulatan panjang, dan kembali menghitung kancing baju sekolahnya, dan pada akhirnya keputusannya jatuh pada kata ‘jenguk’, mau nggak mau, Dicky kudu jenguk Neneng juga.

Tok. Tok. Tok. Begitulah bunyi pintu yang diketuk Dicky.
“Salamelikum… Neneng…” Dicky mengintip dari kaca jendela. Sepi. Ia kembali mencoba.
“Salamelikum… Neng?!” Kali ini lebih keras.
Ceklek. Seorang perempuan sekitar 30 tahunan yang ditaksirnya adalah Mama Neneng tersenyum.
“Temennya Neneng, yah?” Tanyanya.
“Iya, Neneng ada?”
“Ehm… Nenengnya udah pergi, dek.”
“Pergi? Kemana?”
“Ke Bandara, setengah jam tadi perginya.”
Deg. Bandara? Neneng mau pergi? Kemana? Tapi kenapa? Apa Neneng mau berobat soal penyakitnya yang Reza bilang parah itu? Terus, dia bakal balik lagi nggak? Pertanyaan itu menari-nari diatas kepala Dicky. Ia segera pamitan dan melajukan motornya menuju Bandara.

***

Bandara.

Sampai disana, Dicky segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Reza.
“Halo?” Sapa Dicky.
“Iya, apa, Dick?”
“Neneng, Za. Neneng…”
“Kenapa sama Neneng?”
“Neneng mau pergi, Za. Dia mau pergi!” Dicky terengah-engah. Airmata mulai menggenangi pelupuk matanya.
“Pergi? Kemana?”
“Gue nggak tau. Tapi yang jelas, dari Bandara. Dia naik pesawat, Za. Itu berarti jauh, kan, Za?” Nada suara Dicky terdengar sangat ketakutan.
“Naik pesawat? Neneng pergi naik pesawat? Apa dia mau pindah sekolah?”
“Loe jangan nakutin gue gitu, dong, Za.”
“Ya udah, gue nyusul loe yah!”
Klik. Reza mematikan telfonnya begitu saja. Dicky masih berdiri ditengah-tengah Bandara yang ramai. Perasaannya kian takut. Jangan pergi, Neng! Please!

Lalu lalang disekitarnya membuatnya semakin kalut. Terlebih, saat ia melihat sebuah pesawat lepas landas. Dicky histeris, ia berlari menuju kaca besar dimana ia bisa melihat pesawat itu.
“Neneng!” Teriaknya.
“Neneng… jangan pergi.” Ia menangis.
“Dicky?” Ia seperti mendengar suara Neneng. Itu cuma khayalan gue!
“Neneng… jangan pergi… heu heu heu…”
“Dicky, ini Neneng!”
Dicky tertegun, “Eh?” ia menoleh dan segera menghapus airmatanya saat sadar bahwa Neneng berdiri dibelakangnya.

“Neneng? Kok ada disini?”
“Lho? Dicky ngapain disini?”
“Kok, Neneng nggak naik pesawat?”
“Pesawat? Ngapain juga Neneng naik pesawat?”
“Neneng nggak mau pergi?”
“Pergi kemana?”
“Eh?”
“Apa sih? Dicky nggak jelas gitu, deh!”
“Neneng!” Dicky memeluk tubuh Neneng yang imut itu dengan erat.
“Emh… Ky, Neneng nggak bisa nafas. Uhuk uhuk.”
“Eh, maaf, Neng.” Ia melepaskan pelukannya.

“Kamu ngapain ke Bandara?” Tanya Dicky.
“Tuh, nganterin Om yang mau pulang ke Kalimantan.”
“Terus kenapa nggak sekolah?” Dicky cemberut.
“Haduh… Neneng kan kena cacar air, Dicky.”
“Cacar air? Katanya penyakit parah?”
“Penyakit parah? Kata siapa?”
“Reza.”
“Reza? Nggak kok, Neneng cuma cacar aja.”
“Sialan!!! Awas si Reza nanti!” Gerutunya.

“Dicky ngapain disini?”
“Ha? Ehm… ngapain, yah?”
“Terus tadi, kenapa peluk Neneng?”
“Ehm… anu…”
“Dicky suka sama Neneng?”
“Eh?”
“Dicky kesini buat cegah Neneng biar nggak pergi, kan?”
“Apa sih, pede banget!”
“Oh… bukan yah? Yaudah.” Neneng melangkah mendahului Dicky.

“I heart you, Neng.” Ucap Dicky. Langkah kaki Neneng berhenti, ia menoleh.
“Apa?”
“Gue bilang i heart you!” Dicky berkata lebih keras, membuat orang-orang disekelilingnya menoleh.
“I heart you?”
“Iya, gue mau loe jadi pacar gue!”
“Aih?”
“Gue rela dikeroyok seluruh rakyat Bandung yang tercatat sensus tahun ini, asal loe mau jadi cewek gue!*”
Neneng terdiam. Ia tidak menjawab apapun. Ia tersipu malu. Neneng tidak menjawab pernyataan Dicky. Tidak perlu ada kalimat yang terucap dari mulutnya. Sebuah anggukan kecil dari Neneng sudah cukup menjawab semuanya.

***

End.

*Dikutip dari Gilalova, Segila-gilanya cinta; Saija Cinta Adinda karya Ali.
Dengan perubahan seperlunya.

Thanks to: Uee, Marina, Iin, Annisa, Aini, dan keempat personil Chabel lainnya :)

Nah... udah kan? Langsung komen yah..
Maaf lho kalo jelek, soalnya bikinnya penuh dengan godaan kanan dan kiri (?).
Ceritanya ini Neneng yah. Udah mirip belum sama deskripsi saya diatas? :D