Senin, 13 Februari 2012

ASTAGA, GUE JATUH CINTA?! -Cerpen-

By. Dinda
*cerita ini hanya fiktif belaka*


***

Sore baru saja menyapa saat kakinya berderap menuruni tangga rumahnya. Tetangga sebelah. Ke situlah kaki-kakinya melangkah. Tidak sulit menemui sahabat sekaligus tetangganya itu. Jam setengah 4, jadwal rutin untuk membersihkan kereta mesinnya.

“DOR!” Teriak Rahma, tepat didepan telinga seorang pria yang sedang asik mengelap BMW 318i-nya.
“Astajiim... Rahma! Sialan, loe!” Makinya dengan kesal, ia melempar lapnya kedalam ember berisi air dan langsung menjambak rambut Rahma dengan kesal.
“Aduh! Ampun, Kak! Ampun... sori, sori!” Kata Rahma, sambil merapikan rambutnya. Pria itu berdiri dihadapannya dengan berkacak pinggang.
“Ikh, makanya jangan main-main sama gue!” Pria itu menoyor kepala Rahma pelan.
“Sori, Kak. Maaf... Eh, ada yang bisa gue bantu nggak?”
“Ada, ada banget.” Pria itu, yang tidak lain adalah Morgan menjawab dengan semangat.
“Apa tuh? Sini, gue bantu. Itung-itung, tanda maaf gue.”
“Noh, mandiin uler gue. Udah seminggu belum gue mandiin.”
“Idih? Ogah  ah! Kalo yang itu, sih, gue kagak mau!”

“Lah? Kan tadi loe sendiri yang nawarin bantuan, napa sekarang malah nolak?”
“Yaelah... Eh, Bang, kalo bantuin yang wajar-wajar aja, sih, gue juga mau! Ambilin ini, kek. Apa, kek. Lah ini? Mandiin uler? Kagak inget waktu uler loe itu nyelinap tanpa ijin ke kamar gue?!” Rahma bergidik ngeri, pikirannya menerawang kejadian 1 bulan yang lalu. Saat ular sanca bercorak kuning itu ditemukan melingkar dilantai kamarnya.
Morgan hanya tertawa melihat ekspresi Rahma, “Aduh, non, yang namanya nyelinap, mana ada yang peke ijin!” Ia kembali pada pekerjaan semula, mencuci mobil.
Rahma yang merasa diacuhkan, duduk didekat ember yang berisi air sabun itu.
“Eh, Kak, Abang loe mana?” Tanya Rahma. Matanya menengok kearah pintu rumah Morgan yang sedikit terbuka.
“Ada, bentar lagi juga keluar.” Jawab Morgan tanpa mengalihkan pandangannya.

Tidak lama kemudian, Rafael, orang yang dimaksud Rahma keluar dari rumah itu dengan mengenakan jaket berwarna hitam kesayangannya. Tangannya asik memutar-mutar kunci mobil. Ia tersenyum saat melihat Rahma.
“Eh, ada Rahma. Udah lama disini?” Tanya Rafael. Rahma sumringah, ia bangkit.
“Nggak, kok, Kak. Belum lama, Kakak mau kemana?”
“Mau jalan sama temen. Kakak pergi dulu, yah!” Rafael masuk kedalam mobilnya, “Dah, Rahma!”
“Hati-hati, yah, Kak!” Rahma melambaikan tangannya dihadapan jendela mobil Rafael.
“Eh, Gan! Jangan lupa mandiin Sergio, yah!” Teriak Rafael.
“Siap, Kak!” Sahut Morgan. Lalu mobil Rafael perlahan menghilang ditelan tikungan jalan.

“Loe naksir sama Abang gue, yah?” Tanya Morgan, membuat Rahma sedikit terkejut.
Rahma menoleh, dan menatap Morgan dingin.
“Kenapa loe ngeliatin gue kayak gitu? Naksir, bilang!” Kata Morgan.
“Ha? Mamaaaaaa!!!!” Rahma berlari memasuki rumahnya seperti orang kesetanan.

***

“Kak Morgaaan!!! Abaaang!!!” Rahma berteriak didepan rumah Morgan seperti orang mengajak rusuh. Ia menggesek-gesekkan kakinya dan sesekali menendang kerikil dihadapannya. Morgan keluar dari rumah bercat biru itu dalam keadaan berantakan. Ia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana selutut bercorak loreng. Ia menyipitkan matanya dan sesekali menguap.
“Apaan, sih, loe? Cari ribut loe didepan rumah gue?” Morgan bertanya jengkel, tidur siang indahnya terganggu oleh suara nyaring gadis itu.
“Lagi tidur, yah, Kak? Hehehe...” Ia nyengir.
“Bukan! Lagi main akrobat! Puas, loe? Ada apa, sih?” Morgan tidak beranjak sedikitpun dari teras rumahnya, membiarkan Rahma berdiri dibalik pagar.
“Ya Alloh... Bukain dulu napa pagernya, Kak!” Rahma menggoncang-goncangkan pagar besi itu.
“Woy! Jangan digituin, entar loe kagak dibolehin main kesini lagi ama nyokap gue!” Morgan melangkah membukakan pintu pagar buat Rahma.

“Si Cocoh ada?” Ia tersenyum.
“Astaga... Rahma! Kalo loe kesini nyariin si Cocoh, napa mesti manggilin gue, sih?!”
“Hush... jangan teriak-teriak!” Ia membekap mulut Morgan, “Ntar si Cocoh denger, bisa malu gue!” Ia celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya, takut kalau-kalau Rafael mendengar pembicaraan mereka.
“Rafael kagak ada!” Morgan berbalik.
“Eh, kemana?”
“Kagak tau. Bilangnya mau pergi sama Kakak loe.”
“Sama Kakak gue? Kak Renata?”
“Yaelah... emangnya loe punya Kakak lagi selain Renata?!”
“Eh... terus loe mau kemana?”
“Mau tidur lagi, lah! Ngapain juga berdiri disini kayak orang kagak ada kerjaan.”
“Jangan! Temenin gue aja, yuk?!” Ajak Rahma.
“Ha? Kemana?”
“Walking walking...” Rahma nyengir, ia mengedip-ngedipkan matanya, merayu.
“Nggak ah. Nggak ada duit, gue.”
“Gue yang traktir, mau yah? Tapi pake mobil Kakak.”
“Bensin?”
“Tenang... gue yang beli.”
“Makan? Terus es krim?”
“Tenang... kalo cuma itu aja, gue masih mampu, kok.”
“Oke! Gue ganti baju dulu.”

***

Morgan mengendarai mobilnya dalam kecepatan sedang. Sedangkan Rahma, ia duduk manis disampingnya bak putri yang hanya tinggal duduk santai, maka akan sampai pada tujuannya. Mereka berhenti disebuah mall yang cukup besar.

“Kita kemana?” Tanya Morgan.
“Ehm... ketoko buku aja, yuk?!”
“Ha? Mau ngapain?”
“Ngapain, kek. Syukur-syukur kalo gue nemuin buku yang cocok buat si Cocoh.”
“Duileh... mentang-mentang, yah.”
“Hayo, ah. Jangan berdiri ditengah-tengah kaya gini.” Rahma menoleh sekelilingnya. Mereka memang berada tepat ditengah-tengah lobi mall itu.
“Ya udah, yuk!”

Mereka melangkah menuju lantai 2, toko buku langganan mereka. Namun, langkah Rahma berhenti, saat dilihatnya Rafael bersama Renata, sang Kakak, berdiri menghadapi etalase yang memajang beberapa perhiasan. Tapi itu... ah, Rahma baru sadar jika etalase itu memajang perhiasan yang terbuat dari emas putih.

“Kok, Kak Renata sama Kak Rafael...” Rahma meringis.
“Mereka pacaran?!” Morgan mengucek-ucek matanya, mencoba meyakinkan dirinya jika itu memang Rafael dan Renata.
“Kok, bisa...” Tanpa terasa, mata Rahma berkaca-kaca. Terlebih, saat dilihatnya Rafael memakaikan sebuah kalung dengan liontin beruang keleher Renata.
“Itu, kan, kalung beruang yang kemarin Kak Renata minta sama Mama... Kenapa jadi Kak Rafael yang beliin?”
“Loe nangis, Ma?” Morgan memandangnya bingung. Rahma menggeleng, meski air matanya telah mengalir.
“Kita pulang aja, Kak.” Rahma berbalik dan meninggalkan Morgan begitu saja.

Ia baru berhenti setelah sampai dipelataran parkir yang terletak dilantai 3. Lututnya lemas. Ia terduduk lemah sembari melipat kedua kakinya.
“Heu... heu... Kok, Kak Rafael tega sama gue? Emangnya dia nggak nyadar, yah, kalo sejak kecil, gue suka sama dia...” Ia menangis.
“Tuh, kan! Loe beneran suka sama Rafael.” Morgan tiba-tiba saja sudah berdiri dibelakangnya.
“Nggak. Gue nggak suka sama dia!”
“Halah... tadi gue denger sendiri, kok.”
“Nggak usah bawel dan nggak usah sok tau, deh! Ayo pulang!”
“Kita belum makan es krim, Ma.”
“Bodo.” Jawabnya, sambil memasuki mobil tanpa memperdulikan Morgan yang masih bingung.

***

Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. Rahma tidak mengindahkannya, ia menutup kepalanya dengan bantal.
“Rahma...” Panggil Renata dengan pelan. Ia tidak menjawab.
“Rahma... kamu didalem, kan? Dipanggil Mama, tuh. Suruh makan.”
Rahma membuka pintu dengan kasar. Matanya yang tampak bengkak menatap Renata dengan tajam.
“Apa?!” Tanyanya, dengan ketus.
“Itu, dipanggil Mama, suruh makan.”
“Bilang sama Mama, gue nggak laper!”
Brak! Ia membanting pintu dengan keras.

Renata tidak menyerah, “Rahma... kamu kenapa, dek? Kamu sakit?”
“Gue nggak sakit!!” Teriak Rahma.
“Ya udah, terus kenapa?”
“Bukan urusan loe! Sana pergi!!!”
“Kok gitu, dek? Keluar dulu, yuk?! Kita ngobrol dulu...” Bujuk Renata.
“Nggak!!! Loe pasti lagi seneng karena baru jadian sama cowok! Mending loe pergi, deh!!”
“Rahma...”
“Gue bilang pergi! Jangan ngurusin gue! Urus aja urusan loe!!!”

***

Sementara itu, Rafael baru saja menutup laptopnya saat ponsel merahnya berdering.
Renata calling... segera ditekannya tombol hijau.
“Halo? Ada apa, Re?”
“Aku perlu ngomong sama kamu soal tadi sore itu.”
“Iya, kenapa emangnya?”
“Jadi gini...(bla bla bla bla bla)”

“Jadi gitu masalahnya, Raf.” Renata mengakhiri penjelasannya.
“Lho? Kok, jadi gini, sih?” Rafael menggaruk kepalanya.
“Iya, Raf. Aku juga bingung.”
“Ya udah, besok kita ketemu dikampus aja, yah.”
“Oke, thanks, Raf.”

***

“Kak Renata mana, Mah?” Tanya Rahma, pagi itu dimeja makan.
“Renata udah berangkat kekampus tadi pagi.” Jawab Mama.
“Kok, pagi bener?”
“Iya, ada urusan penting dikampus katanya. Oh iya, sore ini kamu ada jadwal les, kan?”
“Ada, Mah. Kenapa?”
“Nggak papa, Renata bilang, dia mau jemput kamu sore nanti.”
“Tumben?” Ucapnya, acuh.
“Nggak papa, lah... mungkin dia pengen nyenengin kamu kali.”
Rahma mengangkat bahu, “Maybe.”

“Kamu berangkat sekolahnya sama Morgan aja, yah? Rafael tadi udah berangkat bareng Renata soalnya.”
“Bodo.”
“Kok, gitu? Kamu lagi marahan sama dia?”
Hadeuh... ni nyokap kenapa, sih? Dari tadi bawel banget.
“Nggak. Biasa aja.”
“Yakin kamu?”
“Yakin. Lagian, udah beberapa hari ini Rafael sibuk terus.”
“Ya udah, makannya cepet abisin. Kamu nebeng aja sama Morgan. Toh, sekolah kamu sama kampusnya searah.”
“Iya.”

***

Langit sore itu kian mendung saat Rahma melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Ia berdiri sebentar dikoridor yang lengang. Kawan-kawannya sebagian besar telah pulang. Diam-diam Rahma gelisah menanti jam 5 sore. Ia mondar mandir dikoridor itu. Apa iya, Kak Renata bakal jemput? Ia semakin gelisah, saat diliriknya jam tangan secara jujur menunjukkan pukul 16.53.
Persetan dengan Kak Renata! Ngapain juga gue capek-capek nungguin dia disini? Mending juga gue hang out, kemana, kek! Gerutunya, dalam hati. Lalu ia pergi begitu saja dengan langkah kakinya yang berderap cukup keras dilantai.

Ia menuruni tangga dengan berhati-hati. Namun, ia terkejut saat melihat adegan ditengah tangga itu. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dihadapannya kini berdiri Kak Renata yang menyandarkan tubuhnya didinding bersama Rafael dihadapannya. Jarak mereka cukup dekat. Oh no!!! Rafael memakaikan kalung yang tempo hari dilihatnya di mall bersama Morgan. Apa-apaan nih? Mau pamer sama gue?!

“Jangan jadiin tempat les gue sebagai tempat mesum.” Tegur Rahma. Keduanya tampak terkejut dan segera berjauh-jauhan.
“Kalo mau pacaran, cari tempat lain!” Kata Rahma, ia berlalu melewati mereka begitu saja. Rafael mencegah lengannya.
“Ini nggak seperti yang kamu pikirin.” Kata Rafael.
Rahma tersenyum sinis, “Emangnya, menurut Kakak apa yang lagi aku pikirin?”
“Ehm...” Rafael terlihat bingung.
“Mendingan, kalian pulang sekarang sebelum ada satpam yang pergokkin kalian.” Ucapnya, ia menepis tangan Rafael kasar.

“Tuh, kan... dia pasti salah sangka sama kita.” Kata Renata.
“Terus gimana, dong, Re?”
“Gue, kan udah bilang, jangan pakein kalungnya disini. Ntar Rahma liat, jadi kacau.”
“Haduh...”
“Kejar, sana! Buruan!” Perintah Renata. Rafael menurut, ia segera mengajar Rahma.

***

Dihalaman tempat les.
“Dasar Rafael jelek! Renata nyebelin! Bisa-bisanya mereka pacaran dihadapan gue! Nggak sensitif banget, sih jadi orang! Arrght!” Ia menggerutu sepanjang jalan.
Ia menoleh, dari pintu kaca, tampak Rafael terburu-buru menuruni tangga mengejar dirinya. Rahma semakin mempercepat langkahnya, namun ia kurang berhati-hati, ciiiiiiiit. Gubrak.

Suara ban mobil berdecit keras diaspal jalan. Rahma merasakan suatu benda berat menyenggol tubuhnya dari arah samping. Ia terjatuh, lututnya terluka.
“Aduh...” Rahma meringis sembari meniup-niup lukanya yang berdarah.
“Rahma, kamu nggak papa, kan?” Rafael tampak sangat panik. Ia mengusap-usap wajah Rahma dengan kedua tangannya.
“Sakit...” Ia berkata dengan nada suara yang manja.
“Kita ke klinik, yuk?”
Gadis itu menggeleng, ia baru sadar jika tadi ia sedang marah pada Rafael, “Ngapain Kakak bantu aku? Sana, urus aja pacar Kakak itu!” Rahma mendorong tubuhnya hingga Rafael terduduk.

“Lho? Kok, kamu gitu, sih sama Kakak?”
“Bodo. Emang Kakak perduli sama aku?!”
“Kamu... cemburu, yah?” Rafael menjawil hidung Rahma.
“Nggak! Enak aja!”
“Halah... ngaku aja!”
“Ish, kepedean amat, sih, jadi orang? Emaknya ngidam apa, sih?!”
“Ngidam... kamu.” Rafael tersenyum jahil.
“Terus aja jahilin aku kayak gitu. Teruusss... sampe puas!”
“Hahaha... dasar anak kecil!”
“Aku emang anak kecil. Terus kenapa?”

Rafael memandang Rahma agak lama, mencari tahu apa yang dipikirkan gadis itu.
“Kamu mau ini, nggak?” Rafael menyodorkan seuntai kalung berliontinkan lumba-lumba kesukaan Rahma.
“Dolphin?”
Rafael mengangguk, ia menggenggamkan kalung itu ke tangan Rahma.
“Bagus. Setelah Kak Renata, terus aku.  Abis ini siapa lagi? Kakak lagi sedekah bagi-bagi kalung? Kaya bener.” Ledeknya.
“Ini buat kamu, dudut!” Ia menoyor kepala Rahma.
“Apa maksudnya? Jangan bilang kalo Kakak mau pacarin aku sama Kak Renata sekaligus.”
“Ih, serakah amat, bu! Denger, yah, kamu itu salah paham, tau, neng!”
“Salah paham gimana?”

“Kalung beruang yang tadi aku pakein ke Renata itu nggak ada arti apa-apa.”
“Maksudnya? Apaan, sih, Kak?”
“Aku sama Renata itu cuma temen. Kalung itu, aku kasih karena Kakak kamu itu udah bantuin aku cari kado buat ultah kamu.”
“Ha? Jadi kalung beruang itu... cuma sekedar hadiah?”
“He-em.”
Astaga... tengsin gila, gue! Rahma menyembunyikan wajahnya dari Rafael.
“Kamu cemburu, yah?”
“Nggak!” Rahma menjawab cepat.
“Ah... kamu cemburu, tuh...”
“Nggak!”
“Jangan jadiin tempat les gue sebagai tempat mesum!” Rafael menirukan gaya Rahma tadi saat mengucapkannya.

“Ah... Kakak, malu, tau.”
“Kalo mau pacaran, cari tempat lain! Cieee...”
“Kak Rafael!”
“Kamu suka, kan, sama aku?”
“Nggak!”
“Suka tuh...”
“Nggak!”
“Berarti rela dong, aku jadian sama Renata?”
“Nggak! Eh?”
“Nah, nggak rela, kan?!”
“Kak Rafael!” Rahma mencium kening Rafael hingga membuat pria itu kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.
“Hey, ada juga aku yang cium kening kamu!” Seru Rafael.
“Ini, kan 2011.” Rahma tersenyum.

Tiiiiiin. Tiiiiii. Suara klakson mengejutkan mereka berdua.
“Woy, kalo mau pacaran jangan ditengah jalan raya, dong! Nggak liat, dibelakang udah macet?!” Seorang pengendara mobil melongokkan kepalanya melalui jendela.
Rafael dan Rahma saling berpandangan. Mereka tersenyum tersipu malu.
“Lariiiii!!!” Mereka berteriak bersamaan.
“Dasar!” Dari kejauhan, Renata memperhatikan mereka sambil tertawa.

***

Selesai.

Yang udah baca, tolong tinggalkan jejak.
Makasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar