By. Dinda
Follow @AprianiDinda95
Listen @sergio_odoth
*cerita ini hanya fiktif belaka*
***
“Halo Chika…” Sapa Dicky. Cewek yang disapanya cuma melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan buku yang dibaca.
“Deuh… Chika sombong bener…”
Byur. Dan segelas es teh sukses membanjiri wajahnya.
“Eh, Dick, bisa nggak sih, sehari aja loe jangan gangguin gue?!”
Nah,
tadi itu sepenggal kisah tragis dari kawan kita, Dicky. Sebenernya,
do’i nggak jelek-jelek banget, kok. Malah, dia termasuk dalam jajaran
cowok keren disekolah. Dicky jelas aja bingung, kenapa yah, mukanya yang
ganteng itu nggak bisa menarik perhatian cewek manapun? Dia sering
banget nanya sama Mamanya. Gini nih, cara nanyanya.
“Mah, kenapa sih, Ichy sering banget ditolak cewek?”
Sang
Mama cuma tersenyum, beliau menjawab kalem, “Mereka masih buta aja,
belum bisa liat anak Mama yang ganteng ini.” Waduh… Dicky serasa mau
terbang denger jawaban Mamanya, idungnya aja ampe kembang kempis begitu.
“Mah, Mama dulu ngidam apa sih, waktu hamil Ichy?” Dicky tersenyum malu-malu kayak orang yang lagi nahan kentut.
Mamanya
yang lagi asik adem ayem menyulam ala ibu-ibu komplek yang kurang
kerjaan karena kerjaannya udah dikerjain sama pembantu itu menoleh.
“Dulu, Mama ngidam kelinci pake pita.”
Gubrak! Sontak, tanpa direncanain sebelumnya, Dicky langsung terjungkal dari posisi duduknya.
Buset! Gue disamain sama kelinci!
***
“Gue kudu beli pelet nih,” Ucap Dicky, sambil menyeruput es tehnya.
“Pelet? Pelet apa? Ikan mas?” Tanya Reza.
“Sialan
loe! Ya kagak lah, tapi…” Dicky menghentikan kalimatnya. Sederet cewek
cantik melintas dihadapannya sambil melambai ala Miss Universe yang
gagal babak penyisihan (?)
“Hay, Dicky…” Mereka menyapa Dicky kompak.
“Hay…” Dicky membalas dengan tampang cengonya.
Sembilan cewek itu berjajar rapi menanti pesanan baksonya dibuatin sama si empunya kantin.
Mereka
Charibelek, girlband sekolah yang namanya udah kondang sampe ke sekolah
tetangga dengan single perdana mereka yang judulnya “Dilempar”.
Denger-denger, mereka kasih nama itu karena terobsesi sama salah satu
girlband yang lagi naik daon kayak ulet cacingan (?). Dicky sendiri sih,
belum pernah denger lagu Dilempar itu kayak apa.
“Dicky…”
Suara cewek menyebut namanya dari belakang. Dicky tertegun, ia menoleh
dengan gerakan slow motion kayak di tivi-tivi, dan ia langsung berteriak
histeris, “SETAAAAAAAANN!!!!”
“Dicky, ini Neneng, bukan setan!” Cewek yang memanggilnya itu cemberut. Yaelah, sapa juga yang suruh panggil-panggil Dicky.
“Neneng?
Ya Alloh… muka loe serem banget tadi.” Reza dan Bisma yang duduk
disampingnya tertawa terbahak-bahak. Disela-sela giginya tampak cabe
yang nyelip.
“Besok lusa, kita kemah. Dicky nggak lupa, kan?” Neneng tersipu, padahal sumpah! Dicky nggak tertarik sama sekali.
“Iya, gue inget kok, kenapa?”
“Dicky
juga inget kan, sama tugas biologi Pak Syamsul? Dia bilang, kita
disuruh mencatat tumbuh-tumbuhan obat ditempat kemah nanti.”
“Iya, gue inget, Neneng. Terus apa lagi?”
“Dicky
juga inget kan, kalo kita… sekelompok.” Neneng nyengir memamerkan
giginya yang dipenjara alias dibehel, entah kapan bebasnya.
“Hem, kalo yang itu gue rada-rada inget, tapi juga rada-rada lupa. Ada lagi. Neneng?”
Neneng menggeleng, “Nggak ada.”
“Ya
udah, makasih ya, Neneng. Sekarang, Dicky mau makan lagi, kalo Neneng
masih disini, Dicky nggak bisa mulai makan nanti.” Dicky tersenyum (Eh,
loe dibehel juga, Dick? – Author)
“Iya, sama-sama. Neneng ke kelas
dulu yah. Dadah Dicky, dadah Bisma, dadah Reza.” Neneng meninggalkan
mereka dengan senyumnya yang makin lama makin lebar aja. Hedeuh… ampun!
***
Cewek
tadi namanya Neneng. Anaknya baik kok, tapi penampilannya yang nggak
banget itu bikin bikin anak-anak rada ngejauhin dia. Kulitnya putih,
lumayan cantik lah. Kalo direndengin sama Mpok Ati, pasti udah langsung
ketebak mana Neneng, mana si Mpok. Tingginya kira-kira 160, lumayan
tinggi kan, buat ukuran cewek kayak Neneng? Rambut panjangnya yang
always dikepang dua itu bikin Dicky teringat sama kartun jaman dulu,
Oshin, atau sama cewek-cewek yang sejaman sama Mamanya. Nyi Iteung,
temen-temen sekelas menjulukinya seperti itu.
Satu lagi
yang beda dari si Neneng. Kacamata yang nangkring di idungnya itu!
Kacamata itu, guedenya naudzubillah. Dari bisik-bisik tetangga yang
Dicky denger, dari kelas ujung ketemu ujung, dari lantai atas ketemu
bawah, yang asalnya nggak tau dari mana, si Neneng yang udah 2 tahun
ngejar-ngejar Dicky sampe doski ngos-ngosan itu, ternyata matanya nggak
minus! Dan ternyata… jreng jreng jreng, ceritanya backsound, dia cuma
ngikutin gayanya Fitri Tropica! Ck, gaul juga yah si Neneng.
***
Taraaaam!!!
Ceritanya, sekolah Dicky ngadain kemah nih ke puncak. Kemah, bisa
dimanfaatin sama anak-anak yang emang punya sejuta rencana. Yang lagi
deketin cewek, bisa jadiin kemah sebagai ajang PDKT. Buat yang religius,
bisa sekalian tadabbur alam. Bahkan, yang mau nagih utang, yang selalu
gagal ditagihin disekolah karena meluluan kepergok sama guru, juga bisa
disini! Dicky sih, sebenernya males buat ikutan. Karena itu artinya, si
Neneng bakalan gencar buat deketin dia. Nah, kayak yang satu ini.
“Chy! Woy! Cepetan!” Teriak Reza.
Perjalanan
puncak yang menanjak itu emang sukses bikin Dicky kewalahan. Gimana
kagak? Badannya yang kecil mungil itu kudu mengemban ransel yang
tingginya hampir setengah badan. Kebayang kagak, tuh?!
“Nggak usah keburu-buru. Nyantai aja…”
Dicky menoleh, ha? Neneng lagi?!
“Mau Neneng bantuin?”
Mata Dicky berbinar. Neneng nawarin bantuan? Rejeki nomplok!
“Boleh, bawain yah, Neng!” Dicky meninggalkan ranselnya begitu saja dihadapan wajah Neneng yang emang pada dasarnya udah cengo.
“Lho?”
“Ini kan, ranselnya Dicky?” Bisma berjalan disamping Neneng yang tersaruk-saruk membawa ransel itu.
“Iya, Neneng lagi bantuin Dicky.” Ucap Neneng dengan ceria, ia bahkan tidak mengeluh sedikitpun.
“Ikh, sini, biar gue aja yang bawa!” Bisma meraihnya dari tangan Neneng.
“Eh, jangan!”
“Ini berat, Neneng.”
“Nggak papa, kok. Biar Neneng aja.”
“Gue
temennya Dicky. Jadi, biar gue yang bawa!” Tega banget sih tuh bocah!
Perasaan, gue kalo manfaatin cewek nggak segininya juga, deh. Bisma
menggerutu dalam hati.
***
Malam semakin
larut. Acara api unggun memang membuat sebagian siswa begitu lelah.
Terlebih dinginnya udara puncak yang seakan menggoda mata untuk segera
merajut bulu mata (?)
“Za, bangun dong…” Dicky mengguncang-guncangkan tubuh Reza.
“Apa sih, Dick?” Reza menggeliat sebentar.
“Gue pengen pipis, temenin, yuk…”
“Gue ngantuk ah…”
“Ish… loe jangan gitu dong, Za. Hayu ah!”
“Bisma aja, noh.” Mata Reza masih terpejam.
“Bisma kan ditenda paling ujung, sama aja boong.”
“Setengah jam lagi.”
“Buset! Keburu ngompol gue!”
“Udah ah, ngantuk, Chy!”
Setelah
menimbang-nimbang dengan menggunakan kancing bajunya antara keluar apa
nggak, akhirnya Dicky keluar sendiri (keluarnya doang yang sendiri,
nggak tau deh kalo nanti gimana – Author). Tengok kanan, tengok kiri,
kali-kali aja lalu lintas lagi padat (?). Aman…
Ia
berjingkat melewati tenda demi tenda yang berjajar rapi dan menuju pohon
yang terletak agak jauh. Tap, bukannya agak jauh, dia malah kejauhan
sampe-sampe nggak tau mana timur, barat, selatan, ataupun utara.
Perasaan Dicky tiba-tiba merasa tidak nyaman, ia seperti diikuti oleh
seseorang, entah siapa. Ia menoleh.
“Aaaaaaaaaaah!!!” Dicky menjerit kencang.
“Hush! Ini Neneng.”
“Neneng?” Dicky menelisik tiap sisi Neneng, kali-kali aja, itu kuntilanak yang nyaru jadi Neneng.
“Ngapain loe disini? Loe ngikutin gue, yah? Hayo, jangan-jangan loe ngintip!”
“Ngintip? Ye, Neneng nyasar!” Ucapnya, setengah berbisik.
Dicky memandang sekitarnya dengan perasaan campur aduk.
“Mampus! Gue juga nyasar!” Dicky menepuk jidat Neneng (?)
Tiba-tiba, petir menyambar bersahut-sahutan disusul dengan turunnya hujan demikian deras.
“Kita kegubuk yang disana! Ayo!” Neneng menarik tangan Dicky menuju sebuah gubuk yang sunyi.
“Buset… gelap bener, Neng.” Kata Dicky. Bilangnya sih, gelap, tapi tetep aja dia duduk di atas dipan kayu yang ada.
“Gelap tau…” Mata Dicky menyapu seluruh sisi ruangan yang remang itu.
“Tau
nggak, apa yang biasanya dilakuin sama cewek dan cowok yang lagi
berduaan ditempat gelap kayak gini?” Neneng duduk disampingnya.
Dicky mendelik, “Maksud loe? Istighfar, Neng! Kita tuh bukan muhrim!”
“Eh?” Neneng tampak bingung dengan ucapan Dicky.
“Denger ya, Neng, biarpun gue suka bolos, suka ngerjain guru, tapi gini-gini juga, gue tuh muslim yang taat tau!”
“Asal loe tau aja, itu tuh namanya zina! Dan balasannya itu, neraka jahannam, Neng!”
“Apaan sih, Dick?”
“Bahkan, nyentuh loe seujung jaripun, gue nggak mau!”
“Ih… kamu tuh ngawur banget. Maksud aku tuh, nyalain lilin.” Neneng mengacungkan sebuah lilin berukuran besar berwarna merah.
“Buset?! Gue kira apaan.” Dicky menggaruk kepalanya yang yang tidak gatal.
“Lilin ini, aku comot dari kuil waktu tahun lalu keluarga aku liburan ke Hongkong. Bagus, kan?!”
“Yang namanya lilin, tetep aja lilin! Mencair.”
“Meleleh, Dicky. Bukan mencair. Lilin itu meleleh.” Jawab Neneng dengan kalemnya.
“Sama aja, ah.”
‘Dicky punya korek?”
“Nggak. Eh, tapi kita bisa nyalain pake kayu!” Dicky bergegas mengambil 2 batang kayu dan mulai menggesek-gesekkannya.
2 jam kemudian…
“Bisa nggak sih, Dick? Udah 2 jam, tau!” Neneng mengusap-usap lehernya yang dicium nyamuk.
“Sabar napa sih, Neng. Lagi usaha nih.”
“Emang yakin caranya kayak gitu?” Neneng mulai meragu.
“Ehm… kalo nggak salah, kita butuh cahaya matahari buat bisa jadi api.” Jiaaah, gubrak!
“Astaga… ini kan malem, Ky! Sampe botak sariawan juga nggak bakalan nyala!”
“Gue lupa.” Ia meletakkan kayu-kayu itu begitu saja.
“Enteng amat loe bilang lupa.”
“Neneng! Neng, Dicky!” Terdengar suara yang menyerukan nama mereka.
“Sialan! Gue kan cowok, siapa tuh yang manggil gue neng Dicky?!”
“Itu suara Reza sama Bisma!”
Brak!
Reza dan Bisma mendobrak pintu gubuk itu dan mendapati kedua orang itu
berjongkok menghadapi sebuah lilin dan tumpukan kayu seperti makhluk
Pithecanthropus Erectus yang baru saja mendapat mukjizat (Apasih?
Ngawur! – Author).
“Bisma!” Neneng menghambur kedalam pelukan Bisma.
“Ih… Neneng! Lepasin! Lepasin, cepetan!” Dicky menarik tubuh Neneng .
“Kenapa sih, Chy? Loe cemburu?!” Tanya Bisma.
“Bukan!
Kan tadinya gue duluan yang mau meluk loe! Mamang…” Kali ini gantian
Dicky yang meluk Bisma. Mana pake acara tangis-tangisan segala lagi,
kayak acara di tipi-tipi itu. Yang kata nyari orang yang udah lama kagak
ketemu. Padahal, belum ada 3 jam kok mereka ilang. Tapi, karena emang
pada dasarnya Bisma masih normal, dia langsung aja dorong tubuh Dicky.
“Hayo ke tenda sebelum ada guru yang tau. Kalo guru tau, bisa manggil tim SAR, mereka!”
***
Udah
4 hari setelah pulang dari kemah, si Neneng nggak masuk sekolah. Dicky
gelisah, berkali-kali dia noleh ke belakang, tempat duduk dimana Neneng
parkir (?)
“Neneng nggak sekolah lagi,” Gumamnya.
“Loe ngomong apa?” Tanya Reza.
“Nggak kok, lupain aja.”
“Neneng sakit. Kalo loe kangen sama dia, jujur aja. Semua anak-anak juga ngakuin kok, kalo mereka kangen sama Neneng.”
“Sakit apa?”
“Gue kurang tau. Mungkin parah.”
“Parah? Masa, sih?”
“Loe nggak percaya? Samperin aja kerumahnya.”
“Nggak ah. Ngapain juga. Lagian, siapa Neneng buat gue?”
Dicky menepis semua perasaannya. Neneng kan, bukan siapa-siapa gue!
***
7
hari. Genap seminggu Neneng nggak masuk sekolah. Tak ayal, diam-diam
Dicky khawatir juga. Akhirnya, setelah melewati pergulatan panjang, dan
kembali menghitung kancing baju sekolahnya, dan pada akhirnya
keputusannya jatuh pada kata ‘jenguk’, mau nggak mau, Dicky kudu jenguk
Neneng juga.
Tok. Tok. Tok. Begitulah bunyi pintu yang diketuk Dicky.
“Salamelikum… Neneng…” Dicky mengintip dari kaca jendela. Sepi. Ia kembali mencoba.
“Salamelikum… Neng?!” Kali ini lebih keras.
Ceklek. Seorang perempuan sekitar 30 tahunan yang ditaksirnya adalah Mama Neneng tersenyum.
“Temennya Neneng, yah?” Tanyanya.
“Iya, Neneng ada?”
“Ehm… Nenengnya udah pergi, dek.”
“Pergi? Kemana?”
“Ke Bandara, setengah jam tadi perginya.”
Deg.
Bandara? Neneng mau pergi? Kemana? Tapi kenapa? Apa Neneng mau berobat
soal penyakitnya yang Reza bilang parah itu? Terus, dia bakal balik lagi
nggak? Pertanyaan itu menari-nari diatas kepala Dicky. Ia segera
pamitan dan melajukan motornya menuju Bandara.
***
Bandara.
Sampai disana, Dicky segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Reza.
“Halo?” Sapa Dicky.
“Iya, apa, Dick?”
“Neneng, Za. Neneng…”
“Kenapa sama Neneng?”
“Neneng mau pergi, Za. Dia mau pergi!” Dicky terengah-engah. Airmata mulai menggenangi pelupuk matanya.
“Pergi? Kemana?”
“Gue
nggak tau. Tapi yang jelas, dari Bandara. Dia naik pesawat, Za. Itu
berarti jauh, kan, Za?” Nada suara Dicky terdengar sangat ketakutan.
“Naik pesawat? Neneng pergi naik pesawat? Apa dia mau pindah sekolah?”
“Loe jangan nakutin gue gitu, dong, Za.”
“Ya udah, gue nyusul loe yah!”
Klik. Reza mematikan telfonnya begitu saja. Dicky masih berdiri ditengah-tengah Bandara yang ramai. Perasaannya kian takut. Jangan pergi, Neng! Please!
Lalu
lalang disekitarnya membuatnya semakin kalut. Terlebih, saat ia melihat
sebuah pesawat lepas landas. Dicky histeris, ia berlari menuju kaca
besar dimana ia bisa melihat pesawat itu.
“Neneng!” Teriaknya.
“Neneng… jangan pergi.” Ia menangis.
“Dicky?” Ia seperti mendengar suara Neneng. Itu cuma khayalan gue!
“Neneng… jangan pergi… heu heu heu…”
“Dicky, ini Neneng!”
Dicky tertegun, “Eh?” ia menoleh dan segera menghapus airmatanya saat sadar bahwa Neneng berdiri dibelakangnya.
“Neneng? Kok ada disini?”
“Lho? Dicky ngapain disini?”
“Kok, Neneng nggak naik pesawat?”
“Pesawat? Ngapain juga Neneng naik pesawat?”
“Neneng nggak mau pergi?”
“Pergi kemana?”
“Eh?”
“Apa sih? Dicky nggak jelas gitu, deh!”
“Neneng!” Dicky memeluk tubuh Neneng yang imut itu dengan erat.
“Emh… Ky, Neneng nggak bisa nafas. Uhuk uhuk.”
“Eh, maaf, Neng.” Ia melepaskan pelukannya.
“Kamu ngapain ke Bandara?” Tanya Dicky.
“Tuh, nganterin Om yang mau pulang ke Kalimantan.”
“Terus kenapa nggak sekolah?” Dicky cemberut.
“Haduh… Neneng kan kena cacar air, Dicky.”
“Cacar air? Katanya penyakit parah?”
“Penyakit parah? Kata siapa?”
“Reza.”
“Reza? Nggak kok, Neneng cuma cacar aja.”
“Sialan!!! Awas si Reza nanti!” Gerutunya.
“Dicky ngapain disini?”
“Ha? Ehm… ngapain, yah?”
“Terus tadi, kenapa peluk Neneng?”
“Ehm… anu…”
“Dicky suka sama Neneng?”
“Eh?”
“Dicky kesini buat cegah Neneng biar nggak pergi, kan?”
“Apa sih, pede banget!”
“Oh… bukan yah? Yaudah.” Neneng melangkah mendahului Dicky.
“I heart you, Neng.” Ucap Dicky. Langkah kaki Neneng berhenti, ia menoleh.
“Apa?”
“Gue bilang i heart you!” Dicky berkata lebih keras, membuat orang-orang disekelilingnya menoleh.
“I heart you?”
“Iya, gue mau loe jadi pacar gue!”
“Aih?”
“Gue rela dikeroyok seluruh rakyat Bandung yang tercatat sensus tahun ini, asal loe mau jadi cewek gue!*”
Neneng
terdiam. Ia tidak menjawab apapun. Ia tersipu malu. Neneng tidak
menjawab pernyataan Dicky. Tidak perlu ada kalimat yang terucap dari
mulutnya. Sebuah anggukan kecil dari Neneng sudah cukup menjawab
semuanya.
***
End.
*Dikutip dari Gilalova, Segila-gilanya cinta; Saija Cinta Adinda karya Ali.
Dengan perubahan seperlunya.
Thanks to: Uee, Marina, Iin, Annisa, Aini, dan keempat personil Chabel lainnya :)
Nah... udah kan? Langsung komen yah..
Maaf lho kalo jelek, soalnya bikinnya penuh dengan godaan kanan dan kiri (?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar