Karya : Vhenna
*Cerita ini Hanya Fiktif*
Mobil berhenti di area parkir yang cukup luas. Heii..! tempat
ini kan? Gak mungkin. Mau ngapain gue ke sini? Kak Ilham kan udah
sembuh. Terus ngapain gue ke Rumah sakit ini?
“Ngapain kita di sini kak? Kakak kan udah sembuh.”
“Ikut aja.”
Gue
turun dari mobil mengikuti Kak Ilham dan yang lain dari belakang. Gue
ke lantai 4, tempat UGD. Kenapa di UGD? Siapa yang sakit?
“Masuk.!”
Perintah kak Rafa. Gue menurut. Gue memasukki ruangan itu, tapi kenapa
Salwa memasukki ruangan sebelah? Siapa di sana? Sebelum masuk, gue
sempet liat bacaan di depan pintu ruangan itu. Bacaan yang sama,
sama-sama berwarna merah dan ada 3 huruf, UGD. Ruang UGD di tempat ini,
memang hanya untuk 1 orang. Mungkin, perlu banyak Ruangan lagi untuk
antisipasi.
Gue melihat seseorang yang gue kenal, Reza.. kenapa Reza bisa ada di kasur itu?
“Sehabis
kecelakaan yang kamu buat itu, kondisi Bisma lebih parah di banding
Reza. darah di kepala bahkan badannya bercucuran banyak banget. tapi
Bisma gak mau tau, dia terus mukulin Reza yang udah pingsan, kita
sendiri gak bisa lerai, tapi akhirnya semua berhenti waktu Bisma
pingsan.” Jelas Dicky yang dari tadi udah gue liat di depan ruangan.
Kecelakaan yang gue buat? Gak mungkin gue tega nyelakain Bisma. Dan Reza
gak mungkin nyelakain dirinya sendiri. Gue yakin,Itu bukan perintah
gue.! Sumpah itu bukan perintah gue.!
“Gak mungkin. Mana Bisma sekarang?”
“Diruang sebelah.” Jawab kak Rafa.
“Tinggalin aku sama Reza.”
Mereka menurut, meninggalkan gue dan Reza di ruangan yang paling gue benci ini.
“Za,
gue gak ngerti sama semua ini. Kenapa Bisma tega mukulin loe? sahabat
baiknya sendiri. Kalau ini emang salah gue, dan bener yang buat kalian
kayak gini tuh gue, gue minta maaf za. Maaf banget za.” Air mata gue
menetes. Entah kenapa gue gak kuat lagi tahan butiran bening ini. Reza
yang selama ini membantu merencanakan misi-misi gue. Gue sendiri gak
ngerti kenapa Reza mau. Dia emang sahabat terbaik gue. Dan sekarang dia
harus berbaring di kasur ini, yang menurut mereka, ‘karna gue’.
Tangan
Reza yang sedari tadi gue genggam bergerak, gue tatap wajahnya yang
pucat, gue liat bibirnya yang bergetar, seakan ingin bicara. Gue segera
menekan tombol yang ada di ruang itu, tombol untuk memanggil dokter. Dan
Gue memanggil orang-orang yang berkumpul depan ruangan. Mereka
memasukki ruangan itu. Entah di bolehkan atau tidak oleh dokter.
Mengumpulkan orang sebanyak ini dalam ruang UGD.
“Chik-ka.
Ma-afin Za, ud-da-h ga-ak bis-sa ban-tu Chik-ka. Re-za pas-ti ud-dah
bu-at Bis-ma ben-ci sa-ma Chik-ka” Ucap Reza terbata-bata. Suaranya
pelan, hampir tak terdengar.
Gue tatap sendu wajahnya.
Kenapa dia minta maaf? Kenapa Reza? Gue yang salah, udah hancurin
persahabatan kalian. “Maksud Eja apa? Eja terlalu baik sama Chika, Eja
rela jadi kambing hitam Chika. Eja rela berbuat dosa demi Chika, kenapa
Eja yang minta maaf? Harusnya Chika.” Deraian airmata ini gak bisa gue
tahan lagi. Maaf Ja, maafin Chika.
“Kar-na, Ej-ja Suk-ka
sam-ma Chik-ka. Tap-pi, mer-rek-ka sem-mua teg-ga sam-ma Chik-ka. Ej-ja
Cum-man ma-u Chik-ka bah-hag-gia.” Mendengar ucapannya itu, Gue
tertegun. Air mata ini semakin deras lagi. Lebih sakit di bandingkan
harus rela di tampar kak Rafa. Segitu baiknya pengorbanan Reza ke gue.
Rasa Cintanya dari dulu gak pernah gue sadari.
Gue melihat ke belakang, gue lihat Dicky yang menangis, sedang yang lain hanya berkaca-kaca.
“Kal-lau,
Ej-ja ud-dah gak ad-da, jag-ga dir-ri Chik-ka baik-baik ya..” Gue mau
menjawab, tapi dokter terlanjur datang, dan memerintahkan kami segera
keluar ruangan.
“Gak keruangan Bisma Chik?” Dicky bertanya, dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.
“Apa Bisma mau liat gue?”
“Coba
dulu.” Dicky membukakan pintu UGD sampingnya, tempat Bisma di rawat.
Gue melihat Bisma yang belum sadar, sedangkan Salwa di sampingnya, tak
berhenti menangis.
“Salwa..” Dicky memberi isyarat agar Salwa meninggalkan gue dan Bisma sendiri.
Gue
duduk di samping kirinya, tangan kiri gue menggenggam erat tangannya.
Sedangkan tangan kanan gue, gue pakai untuk membelai rambutnya. “Pah,
papah bangun ya.. bangun. Mamah janji akan berubah, mamah gak akan jahat
lagi. Mamah gak tau, apa yang akan terjadi kalau gak ada papah. Papah
tau kan? Mamah sayang sama papah lebih dari apapun, Papah tau kan? Cuman
papah yang bisa bikin mamah tenang. Mamah janji, akan jadi mamah yang
baik selamanya buat papah, sampai saatnya kita benar-benar memanggil
mamah-papah dalam ikatan pernikahan. Bahkan sampai mati pah.”
Gue
mencium tangannya lama, lama sekali. Membuat tangannya yang di hias
jarum infuse itu basah karna air mata. Entah perih atau tidak rasanya.
Tapi yang pasti lebih perih hati gue saat ini. Tak ada tanggapan dari
Bisma, gue mencium keningnya. Bisma tersadar, sama seperti reza,
mulutnya bergetar seakan ingin bicara. “Bu-at ap-pa kam-mu ke sin-ni?”
Bisma berkata persis seperti reza, terbata-bata. Tapi Bisma mengalihkan
pandangannya, dia gak mau lihat gue. Dan pertanyaan itu? sukses membuat
perih itu makin nyata.
“Maafin aku Pah, maafin aku..”
“Gak per-lu, leb-bih ba-ik, kam-mu per-gi dar-ri sin-ni. Ak-ku ben-ci sam-ma kam-mu.”
“Pah..
mamah gak ngerti kenapa semua ini bisa terjadi, maafin mamah kalau ini
emang perbuatan mamah. Mamah tau papah gak benci sama mamah, buktinya
pas mamah cium kening papah, papah sadar.”
“Gak us-sah
lag-gi kam-mu pang-gil ak-ku pap-pah, kit-ta ber-ak-hir” kata-kata Bisma
ini adalah kata-kata yang paling menyakitkan, lebih menyakitkan di
banding apapun. Entah ada berapa kerikil yang menghantam, entah ada
berapa pedang yang menusuk, dan entah ada berapa tangan yang mencabik di
sini. Di hati gue ini.
Gue mundur, perlahan namun pasti. Gue mencoba kuat, tapi gak bisa.
“Sat-tu lag-gi” Ucap Bisma setelah gue 2 langkah berjalan mundur.
“Jik-ka, ak-ku mat-ti. Jang-ngan had-dir di pem-mak-kam-man ku.”
Perasaan
gue gak bisa gue artiin lagi, rasanya gue lebih baik mati. Gue membalik
badan, berlari, dan terus berlari ke arah Pemukiman yang padat
penduduknya. Gue tau mereka mengejar gue. Gue melihat rel kereta yang
sepi. Tak ada 1 pun yang menyebranginya, entah karna apa. Ataukan karna
akan ada kereta menyebrang? Gue berjalan di rel itu, berjalan dengan
kekosongan hati. Berjalan khilaf, tak menghiraukan seruan orang yang
menyuruh gue minggir. Tak peduli suara tangisan Kak Rafa, Kak Ilham, Kak
Rafael, dan siapapun itu. Tak menghiraukan suara kereta yang semakin
mendekat. Tak peduli bagaimana keadaan gue selanjutnya. Gue terus
berjalan tenang.
Bagaimana selanjutnya cerita hidup gue?
Apa yang mereka bilang kalau gue penyebab kecelakaan Bisma dan Reza?
Akankah Kondisi Bisma dan Reza membaik?
Tunggu di part terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar